PEMALSUAN TERADAP VAKSIN YANG MELANGGAR HAK MEREK
Fenomena beredarnya vaksin palsu
telah meresahkan masyarakat luas, baik itu masyarakat sebagai konsumennya,
maupun pelaku usaha selaku pemilik merek vaksin yang telah dipalsukan.
Pelanggaran merek ini merugikan
produsen merek Havrix, Pediacel, Tripacel, Tuberkulin, dan Biocef yang telah
dipalsukan dan sudah dicap buruk oleh masyarakat sehingga, perlu penyelesaian
yang tepat dan perlindungan bagi pemilik merek. Pemilik merek sebagai pihak
yang sangat dirugikan atas fenomena ini, karena telah membuat merek mereka
menjadi jelek dimata masyarakat. Tidak terlepas pula keterkaitannya dengan
beberapa pihak seperti pemerintah yang memiliki andil sebagai pengawas di dalam
mencegah dan mengawasi beredarnya vaksin palsu ini. Berikut ini menunjukkan
adanya persamaan pada label merek antara vaksin asli dan palsu.
Persamaan pada label, baik itu warna, tulisan huruf maupun angka memang tidak dapat dibedakan secara kasat mata. Hal tersebut menimbulkan kekeliruan di masyarakat. Sebenarnya penyebaran vaksin palsu sudah menyebar sejak tahun 2003 namun memang baru marak dibahas sejak Juni 2016. Hal ini menjadi diketahui oleh masyarakat luas karena didorong oleh kondisi ketersediaan vaksin yang memang mulai langka pada Bulan Juni 2016 tersebut, khususnya untuk vaksin import. Penyebaran vaksin palsu ini pun sudah mulai terjadi sejak tahun 2003. Penyediaan vaksin ada yang import dan ada pula yang disediakan untuk program imunisasi pemerintah. Sebanyak 11, 9% fasyankes swasta dapat mengambil vaksin dari distribusi resmi, tetapi juga apat membeli vaksin import dengan harga yang cukup mahal yang kebetulan sedang langka di pasaran pada periode tersebut.
Persamaan pada label, baik itu warna, tulisan huruf maupun angka memang tidak dapat dibedakan secara kasat mata. Hal tersebut menimbulkan kekeliruan di masyarakat. Sebenarnya penyebaran vaksin palsu sudah menyebar sejak tahun 2003 namun memang baru marak dibahas sejak Juni 2016. Hal ini menjadi diketahui oleh masyarakat luas karena didorong oleh kondisi ketersediaan vaksin yang memang mulai langka pada Bulan Juni 2016 tersebut, khususnya untuk vaksin import. Penyebaran vaksin palsu ini pun sudah mulai terjadi sejak tahun 2003. Penyediaan vaksin ada yang import dan ada pula yang disediakan untuk program imunisasi pemerintah. Sebanyak 11, 9% fasyankes swasta dapat mengambil vaksin dari distribusi resmi, tetapi juga apat membeli vaksin import dengan harga yang cukup mahal yang kebetulan sedang langka di pasaran pada periode tersebut.
Pembahasan:
Fenomena vaksin palsu merupakan suatu
indikator persaingan tidak jujur yang illegal untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya
dengan melakukan pelanggaran merek berupa peniruan dan kemasan suatu produk dan
juga pemalsuan produk. Persamaan identik pada label merek vaksin terjadi berupa
persamaan pada angka, huruf dan juga warna antara vaksin palsu dengan yang asli
sebagai hasil dari penyidikan sebagaimana diatur di dalam Pasal 100
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Hal ini
telah menyebabkan kebingungan dan juga mengarahkan masyarakat atau konsumen
kepada penggambaran yang keliru.
Pelanggaran terhadap merek ini merugikan
masyarakat maupun produsen yang memiliki merek yang dipalsukan itu. Di samping
itu, terkait dengan proses penegakan hukum terhadap para pelaku yang tidak
jelas pemberitannya membuat masyarakat jera menggunakan produk vaksin dengan
merek tersebut sehingga menyebabkan labelling yang tidak baik. Tindakan
pemerintah dinilai kurang tegas terkait dengan penegakan hukumnya, khususnya
dari kajian merek. Pemerintah kerap kali lalai di dalam penyelenggaraan
pelayanan vaksin dari tahapan perencanaan, pengadaan, distribusi, penggunaan,
hingga pada pengawasannya. Batch vaksin yang menunjukkan asal dan izinnya
seharusnya diperhatikan kembali ketika melakukan pre market dan post market
check.
Pemerintah sebagai pembina dan pengawas
pelayanan kesehatan harus menindak tegas para pelaku pembuat dan penyalur
vaksin palsu yang belum melaksanakan sistem pengawasan yang efektif sehingga
diharapkan tidak terjadi kembali kebocoran dan kelalaian di dalam sistem
pengawasan itu sendiri. Pemerintah harus mongontrol dan memonitor produk-produk
vaksin yang didistribusikan ke masyarakat melalui Perusahaan Besar Farmasi
dengan memastikan kualitasnya dan juga merek-merek dari vaksin yang telah
didaftarkan secara resmi tersebut tersalur langsung dari produsennya sampai kepada
konsumen, terutama untuk
vaksin-vaksin dengan merek-merek yang di-import.
Pemerintah harus melindungi produsen
vaksin yang mereknya telah dipalsukan dengan melakukan tindakan hukum dengan
penyelesaian sengketa merek atas pelanggaran merek yang terjadi sebagaimana
yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan
Indikasi Geografis, baik melalui gugatan di pengadilan sebagaimana dalam Pasal
83 maupun dengan alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana pada Pasal 93,
dan juga memberikan publikasi informasi yang jelas terkait dengan penanganan
kasus yang dilakukan sehingga tidak ada berita yang simpang siur di masyarakat yang
mengurangi kepercayaan masyarakat, khususnya para orang tua terhadap
merek-merek vaksin yang tadinya mereka sudah percayai mengingat kualitas dan
reputasi dari vaksin dengan merek-merek tersebut sudah dapat dikatakan memiliki
standar yang baik bagi anak mereka. Selain itu, produsen, sebagai pemilik merek
dari vaksin yang telah dipalsukan dalam hal ini juga harus turut kooperatif di
dalam memastikan penyaluran produk-produknya diberbagai fasilitas pelayanan
kesehatan yang ada.
Sumber:
Munandar, Haris dan Sally Sitanggang, 2008, Mengenal Hak Kekayaan
Intelektual Hak Cipta, Paten, Merek, dan Seluk Beluknya, Jakarta: Erlangga.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi
Geografis.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Komentar
Posting Komentar